Privilege? Hanya dimiliki orang kaya raya? Hanya dimiliki oleh orang yang keluarganya tidak toxic? Hanya dimiliki orang berpendidikan tinggi?
Sometimes I think we set the bares too high..
Suatu hari aku merenung dan menulis apa-apa yang aku harapkan dalam kehidupanku terutama kehidupan rumah tanggaku. Termasuk apa saja harapanku terkait pengasuhan anakku dan tentang finansial. Rasanya masih banyak sekali yang belum terbenahi dan ingin mencapai titik-titik tinggi tempatku menaruh gawang untuk mencetak gol.
Mungkin aku tidak akan pernah terpantik untuk berpikir dan mensyukuri rejeki-rejeki luar biasa yang sudah Allah berikan kalau bukan karena kembalinya aku bekerja di sebuah klinik dan kembali memiliki obrolan yang asyik dengan kolega seangkatan. Pembicaraan ringan itu jadi sebuah momen yang mungkin tidak akan kulupakan, betapa ternyata privilege tidak melulu berkaitan dengan hal-hal besar.
"Kita tu beruntung ya, orang tua kita ga segitunya. Memiliki orang tua yang tidak toxic adalah sebuah privilege," kurang lebih kalimat itu yang jadi kunci pembuka pikiranku. Terima kasih kolega hebatku yang sudah membantuku melihat bahwa hal-hal baik yang sudah ada di sekitar kehidupan kita adalah sebuah privilege yang Allah berikan.
Then, I try to look into my life..
Wow, banyak sekali rupanya privilege yang aku punya. Meskipun bukan harta yang tidak habis sampai turun temurun, bukan pula memiliki relasi dengan orang-orang super penting, dan bukan pula kemudahan yang sangat untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi lagi. Hampir semua kehidupanku jadi terasa privilege. Tapi bukan berarti aku lalu tidak berusaha menaikkan lagi hal-hal yang masih bisa dilakukan, namun jadi lebih bersyukur atas kehidupanku. Pernah satu titik aku merasa kehidupanku begitu menyedihkan dan kurasa hampir alami depresi, rasa benci terhadap kehidupan rasanya selalu kubawa, sampai detik di mana pikiranku bisa sebegitu lebarnya terbuka dengan kalimat yang disampaikan seorang kolega tadi. Rasa marah terhadap hidup yang selalu muncul setiap ada hal yang kurasa tidak ideal akhirnya bisa menghilang.
Tak kusadari sebelumnya bahwa kasih sayang Allah begitu besar padaku. Sebelumnya kupikir aku bukanlah seorang yang dilihat oleh-Nya, bahkan kadang barisan doa yang kupanjatkan terasa tidak ada yang dikabulkan. Tapi ternyata memang tidak baik ber-suudzon terhadap Rabb yang menciptakan alam semesta ini. Bahkan hidup sebagai orang Indonesia yang tinggal di Indonesia saja sudah merupakan privilege (seeing what's happening to our brothers and sisters in Palestine.. May Allah bring you victory soon.. Aamiin..)
Komentar
Posting Komentar