Hello guys, aku mau share cerita lahiranku kemarin yang qodarullah terjadi di masa pandemi. Dari hamil sampe lahiran masih pandemi aja soalnya. Aku udah pernah share cerita ini di twitter aku. Yang lebih suka versi thread twitter boleh langsung baca di sini πππ
https://twitter.com/soo_nam_mir/status/1360302811309776899?t=ANhAm5WOwnTEXuOl4IemAw&s=19
Firstly, let's jump to my 37 weeks of pregnancy..
Saat itu awal bulan Januari 2021. Masih terasa rasa lega setelah pengajuan cutiku dikabulkan oleh dokter hewan kepala. Aku putuskan untuk mulai tinggal bersama orang tuaku di rumah mereka setelah melakukan pemeriksaan kehamilan rutin di puskesmas yang tertera sebagai faskes tingkat I pada kartu BPJS milikku. Aku dan suami setelah menikah memang memilih untuk tinggal berdua di sebuah bangunan rumah milik panti asuhan ternama di Jogja, di mana suamiku menjadi pengurusnya. Karena hanya tinggal berdua dan suami bekerja di pagi sampai sore hari, maka kami pertimbangkan untuk numpang di rumah orang tuaku selama masa hamil tua sampai sekiranya kami sudah siap untuk merawat anak hanya berdua. Tapi yang menumpang hanya aku dan anakku, suamiku tetap harus mengurus bangunan panti asuhan tersebut.
Pemeriksaan kehamilanku berjalan cepat dan alhamdulillah semua terdeteksi normal. Pada saat itu ada aturan bahwa setiap ibu hamil yang akan melahirkan wajib untuk melakukan pemeriksaan/tes covid-19 dalam kurun waktu 2 minggu sebelum lahiran. Ada 2 jenis tes yang populer pada saat itu, yaitu rapid test antibody dan PCR. Rapid test antigen atau swab antigen belum terlalu populer namun sudah mulai digunakan sebagai screening covid-19. Aku menjalani rapid test antibody di puskesmas Seyegan. Rapid test antibody hanya membutuhkan sedikit darah yang nantinya diteteskan ke alat dan hasilnya terbaca sebagai reaktif atau non-reaktif. Pada saat itu perawat mengambil sedikit darah dari ujung jariku lalu memperbolehkanku pulang dan nantinya hasilnya akan disampaikan melalui whatsapp.
Pagi sudah berganti menjadi siang dan aku sama sekali tidak khawatir tentang hasil rapid testnya. Aku mendapatkan pesan whatsapp dari nomor yang tidak ada di kontakku dan menginfokan hasil tesnya. Aku membaca hasilnya dengan santai, namun nomor itu mengetik pesan "tetap tenang ya Bu, mudah2an semuanya tidak apa2. Tunggu keputusan dari RSUD Sleman ya Bu, nanti say kabari lagi". Hei, memangnya segitu mengerikannya hasilku? IgM non-reaktif, IgG reaktif. Aku membacanya sebagai infeksi yang terjadi di masa lampau dan IgGku masih cukup tinggi sehingga terbaca oleh alat -setidaknya itu salah satu yang aku pelajari dari mata kuliah imunologi di masa kuliah kedokteran hewan. Dengan tenang, aku balas pesan itu "aamiin.. terima kasih banyak informasinya"
Aku begitu yakin bahwa aku tidak sedang menderita covid-19. Mungkin aku sempat terpapar teman yang terkonfirmasi covid-19 di bulan Desember dan hanya sisa IgG saja yang masih tinggi.
Tidak lama kemudian nomor yang sama kembali mengirimiku pesan."Ibu, besok bisa ke RSUD Sleman untuk melakukan tes PCR ya. Bisa ke sana jam 9, sudah kami daftarkan". Wah, ternyata prosedurnya harus dikonfirmasi dengan PCR. Baiklah, aku lakukan sesuai apa yang diinstruksikan. Keesokan harinya aku ke RSUD Sleman diantarkan oleh suamiku. Kami menuju poli covid dengan berjalan kaki, tidak jauh dari tempat parkir. Ruangan yang kami tuju berada di ujung bangunan dan semua petugas mengenakan APD lengkap. Tidak ada pasien ataupun orang yang sedang dilakukan swab pada saat itu. Aku menuju bilik pendaftaran dan benar namaku sudah ada dalam datanya. Aku dipersilakan untuk masuk ke ruang pengambilan sampel. Aku sudah siap untuk diambil sampelnya, namun seorang perawat menemuiku dan menyarankan untuk menunda swab sampai usia kehamilan 38 minggu dengan alasan hasil PCR hanya valid 2 minggu, khawatir jika lahirannya mundur maka harus bayar PCR secara mandiri seharga 1 juta rupiah. Aku menimbang-nimbang dan akhirnya setuju untuk menunda swab PCR sampai usia kehamilan 38 minggu.
Keesokan harinya nomor whatsapp itu kembali menghubungiku. Rupanya itu adalah nomor bidan desa, beliau menanyakan perihal hasil PCR-ku mengingat belum ada kabar sama sekali dari RSUD Sleman. "Bu Namira bagaimana hasil swab nya kemarin? Apakah sudah ada hasilnya?". Langsug kubalas "Mohon maaf, Bu,, saya kemarin disarankan untuk swab di usia kehamilan 38 minggu, jadi kemarin belum". Tak lama kemudian ada balasan "Oh begitu.. Nggih kalau begitu Ibu isolasi mandiri dulu nggih, kalau bisa segera PCR supaya lekas tahu apakah positif atau tidak". Pesan itu hanya kubaca, kutinggalkan begitu saja handphone ku di atas meja depan televisi.
Hari demi hari kurasa berlalu begitu lambat sejak keputusan untuk menunda swab PCR. Suamiku tidak menengokku di akhir pekan itu karena ada pekerjaan yang harus dilakukan. Usia kehamilanku semakin bertambah dan aku usahakan untuk melakukan sugesti positif mengenai covid-19 dalam diriku ini dan berharap hasil PCR nantinya negatif sehingga tidak perlu dilakukan protokol covid-19 dalam penanganan persalinanku.
Malam sebelum tes PCR, hatiku sangat bersemangat. Kupenuhi pikiranku dengan hal-hal positif. Malam itu aku tidur sendiri di kamar yang selama ini aku tempati sebelum menikah. Setelah mengirim pesan selamat tidur ke suamiku, aku belum bisa tidur. Aku lanjutkan menatap layar gawai dan membaca beberapa artikel di situ. Sekitar pukul 12 malam barulah rasanya aku mengantuk dan aku coba pejamkan mataku. Syukurlah aku bisa tidur..
Aku sadar bahwa aku sedang bermimpi. Namun semua rasa sakit itu aku rasakan seperti nyata. Aku bermimpi sedang melahirkan dan aku lihat ada bercak darah! Apakah ini pertanda bahwa aku memang akan melahirkan?
Kubuka mataku dan melihat layar gawai untuk memastikan pukul berapa saat itu. Pukul 04.00 pagi. Rasa sakit di perutku datang seperti yang ada dalam mimpiku tadi. Secara naluri aku mengetahui bahwa itu kontraksi menuju persalinan. Aku menuju kamar mandi untuk buang air kecil sekaligus memastikan apakah ada tanda proses persalinan selain kontraksi. Ada darah yang keluar bersama urin dan cukup banyak seperti ketika menstruasi. Aku segera mempersiapkan diri untuk periksa ke puskesmas. Segeralah aku sarapan dan mandi. Tas persalinan yang aku siapkan juga sudah aku bawa keluar kamar. Tak lupa juga frekuensi dan lamanya kontraksi aku catat. Suamiku segera aku chat mengenai kontraksiku dan kemungkinan persalinan.
Orang tuaku nampaknya sangat memahami bahwa aku merasakan tanda-tanda persalinan. Mamah dan Bapak menyegerakan untuk menyelesaikan urusan mereka pagi itu. Mamah memasak sarapan lebih cepat dari biasanya dan Bapak membatalkan urusan sawah.
Jam menunjukkan pukul 06.00 saat orang tuaku mengantarku ke puskesmas. Aku masih bisa berjalan seperti biasa meskipun kontraksi mulai lebih sering datang dan lebih lama durasinya. Puskesmas rupanya tidak ada instalasi gawat darurat yang memadai, sehingga tidak mampu menerima pasien sebelum pendaftaran dibuka. Sedangkan pendaftaran baru dibuka pukul 07.00. Pada saat itu karena aku belum melakukan PCR, mereka khawatir tidak bisa menangani karena tidak tersedianya fasilitas penanganan covid-19 di sana. Jadi, puskesmas menyarankan untuk langsung ke RSUD Sleman tanpa memberi surat rujukan, dengan harapan di RSUD Sleman langsung ditangani tanpa repot urusan asuransi kesehatan.
Hari itu adalah hari di mana jadwalku melakukan PCR, namun kontraksi datang. Awalnya aku kira aku bisa menunggu untuk swab PCR sebelum masuk ke IGD. Namun ternyata bagian pengambilan swab baru buka pukul 08.00. Aku putuskan untuk periksa dulu ke IGD. Jarak tempat pengambilan sampel swab dan IGD lumayan jauh, Bapak dengan sigap menyiapkan mobil untuk transportasiku ke sana meskipun aku pada dasarnya masih sanggup berjalan.
"Jadi ini belum ada tes PCR nya, Bu?" tanya perawat di IGD. "Belum, mba. Harusnya hari ini tesnya" jawabku. Setelah urusan pendaftaran IGD selesai, aku diminta untuk masuk IGD khusus covid-19 di mana saat itu ada 1 orang pasien yang ada di dalamnya, di bilik sebelahku. Dua orang perawat masuk dengan mengenakan APD lengkap, membawa beberapa peralatan yang akan digunakan untuk memeriksa dan menunjang kebutuhan tubuhku. "Bu, saya cek bukaannya ya. Nanti akan ada dokter obgyn yang menangani, saat ini beliau sedang menuju ke sini," perawat menyampaikan dengan nada yang lembut. "Ya, mba. Aku pasrah aja mba. Nanti manut dokternya," jawabku.
Sudah bukaan 4 ternyata. Wah, ternyata cepat juga. Sudah masuk ke persalinan aktif, sehingga tidak boleh ke mana-mana. Dilakukan pemasangan oksigen, pengambilan darah dan pemasangan infus. Ada juga alat yang ditempelkan ke perutku untuk merekam denyut jantung janin. Kontraksi semakin sering dan semakin lama durasinya. Suamiku datang dan tampak kebingungan di wajahnya, seperti tidak tahu harus berbuat apa. Kubilang padanya untuk tunggu saja di luar, ambil tas yang dibawa oleh Mamahku dan minta kedua orangtuaku untuk istirahat di rumah. Suamiku keluar namun tidak berapa lama kembali lagi dengan membawakan air putih. Aku meminumnya sedikit dan meletakkannya di kasur tepat di samping badanku.
"Aku kira masih nanti siang ke rumah sakitnya, ternyata pagi" suamiku membuka percakapan. "Pengen ngecek aja ini beneran mau lahiran atau engga, kalau iya sudah bukaan berapa. Tadinya juga mau nunggu untuk swab dulu tapi ternyata masih tutup. Ndilalah sudah bukaan 4, udah ga boleh ke mana-mana. Tadi udah ambil darah untuk dicek antigennya, mudah-mudahan sudah negatif" jawabku dengan cepat mumpung kontraksi sedang hilang. Suamiku tidak banyak berkata-kata. Seorang perawat dan seorang dokter masuk dan menyampaikan hasil cek darah yang mana ternyata hasilnya masih sama persis dengan pekan lalu yaitu IgM non-reaktif, IgG reaktif. Sesuai SOP yang ada, aku dikategorikan suspek covid-19 dan diperlakukan seperti pasien covid-19 lainnya sampai hasil PCR keluar. PCR dijadwalkan dilakukan keesokan harinya, hari itu difokuskan pada persalinan. Dokter memeriksa bukaanku dan ternyata sudah bertambah sedikit. Kedua orang itu meninggalkan ruangan dan meminta suamiku untuk meninggalkan ruangan pula.
Tidak lama kemudian dua orang perawat masuk dan menanyakan apakah aku masih bisa berjalan. "Masih bisa sih mba kalau pas ga kontraksi" jawabku. Lalu diputuskan oleh mereka untuk membawaku beserta ranjang yang kupakai menuju ke ambulans. Semua perawat dan personil yang menanganiku menggunakan APD lengkap. Aku dibawa menuju instalasi covid dan suamiku diminta untuk ikut naik ke ambulans. Suamiku hanya bisa menunggu di luar instalasi covid, sedangkan aku digledek terus menuju ruang bersalin khusus covid.
Kontraksi terasa semakin dekat jaraknya dan semakin lama durasinya. Pendingin ruangan terasa begitu dingin namun rasa sakit akibat kontraksi membuyarkan rasa dingin yang aku rasakan. Ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter dan perawat untuk memastikan histori kehamilanku. Beberapa percakapan ringan juga terjadi dan membuatku cukup nyaman secara batin meskipun tidak ada anggota keluargaku yang bisa menemaniku di situ.
Evaluasi kontraksi akan dilakukan 2 jam kemudian, dokter menyampaikan jika tidak bisa segera meningkat bukaannya maka persalinan harus dilakukan secara caesar. Oke, apapun itu yang penting aku dan bayiku selamat. Jam menunjukkan pukul 13.00 dan kontraksi semakin kuat. Seorang perawat menawariku minum dan mengelus perutku untuk menenangkanku dan janinku. Namun kutolak tawarannya karena aku sangat tidak mau untuk minum.
Tibalah pukul 13.00 dan dokter mengecek bukaanku. Sudah meningkat namun belum sempurna dan ketuban masih belum pecah. Darah keluar setiap kali kontraksi terjadi. Aku sudah tidak bisa berbicara dengan lama. Hanya bisa berdzikir dan menahan sakit yang terasa makin kuat. Dokter menyampaikan bahwa prosedur caesar akan dilakukan agar persalinan bisa cepat terlewati. Beberapa perawat mulai mempersiapkan ruangan dan peralatan, serta ada yang mengurus berkas persetujuan caesar yang harus ditandatangani suamiku.
Mendekati pukul 13.30 aku mulai tidak mampu menahan untuk tidak mengejan, aku sampaikan ke perawat yang sedang mengelus perutku. Secara refleks, aku yang tidur menghadap samping kiri menaikkan kaki kananku. Sontak tiga orang dalam ruangan itu panik dan melarangku untuk mengejan. Dokter kembali memeriksa bukaan. Beliau kurang yakin apakah bukaan sudah lengkap atau belum, dan ketuban belum pecah. Akhirnya diputuskan untuk memperbolehkanku mengejan dengan kuat dan ketuban bisa pecah dan ujung kepala bayi sudah mulai terlihat. Mesin vacum dipersiapkan untuk membantu mengeluarkan bayi dengan cepat. Aku mengejan dengan sekuat tenaga, dan aku rasa prosesnya tidak lama hingga akhirnya bayiku keluar dan menangis dengan kencangnya. Jam menunjukkan pukul 14 ketika anakku sudah lahir.
Keinginan untuk memeluk dan langsung menyusui bayiku ternyata harus kupendam dulu karena kami harus langsung dipisah. Aku menerima sayatan di area perineum cukup panjang karena alat vakum harus bisa masuk ke dalam, dan tentu saja jahitannya juga banyak untuk menutup sayatan tersebut. Tidak terasa sakit sama sekali karena diberi anestesi lokal di sekitar area yang akan dijahit. Hal yang terlintas di benakku saat itu adalah sebuah kelegaan dan rasa syukur karena aku dan bayiku selamat.
Setelah selesai penjahitan, aku digledek menuju kamar perawatan. Kamar yang cukup luas dan hanya 1 pasien yaitu aku saja yang menempatinya. Sesampainya di kamar, seorang perawat menyampaikan beberapa hal terkait perawatan di bangsal covid, beberapa hal mengenai menyusui dan cara mengeluarkan ASI dengan pijatan, dan cara merawat luka jahitan pada perineum.
Hari itu hanya rasa lega yang ada. Akupun tidak khawatir jika ASIku tidak langsung keluar karena bayi masih sangat bisa untuk tidak menyusu 24 jam pasca dilahirkan. Suamiku pulang karena tidak diperkenankan untuk menunggu di rumah sakit. Aku tidak tahu bayiku dibawa ke ruangan apa namun aku selalu berdoa untuknya semoga dilindungi oleh Allah dan kami berdua bisa segera pulang dari rumah sakit.
Keesokan harinya di pagi hari, seorang perawat mendatangi kamarku dan mengambil sampel swab nasofaring. Tidak terasa perih maupun rasa tidak nyaman lainnya. Hari itu aku lalui dengan berbagai upaya untuk membuat ASIku keluar dan banyak berdoa untuk hasil negatif pada PCR test milikku dan anakku.
Tak kusangka di sore harinya aku dikabari bahwa hasil tes PCR ku positif dan aku harus tetap berada di rumah sakit selama 10 hari ke depan. Langsung syok dan lemas rasanya. Aku menanyakan kabar anakku, syukurlah hasil PCR anakku negatif dan anakku kondisinya cukup baik namun perlu segera masuk asupan susu. Segera aku komunikasikan dengan suami untuk berdiskusi tentang donor ASI ataukah susu formula (sufor) untuk diberikan pada anakku. Sore itu hujan turun cukup lebat dan kami putuskan untuk memilih sufor karena kesulitan menemukan donor ASI yang lokasinya dekat.
Dengan hasil PCR yang demikian, maka anakku harus segera dipulangkan dengan syarat perawat/pengasuh anakku di rumah harus negatif covid (dibuktikan dengan minimal swab antigen). Syukurlah kedua orangtuaku segera mencari rumah sakit yang menyediakan layanan tersebut dan langsung dilayani. Hasil mereka negatif. Anakku pulang keesokan harinya (Kamis sore, 4 Februari 2021).
Singkat cerita, suamiku jadi kurir ASIP (ASI perah), bolak-balik ke rumah sakit 2 kali sehari untuk mengambil ASIP dan mengantarkan kebutuhanku. Orangtuaku di rumah merawat anakku dan tidak ada masalah yabg berarti dengan kesehatan mereka maupun kesehatan anakku. 10 hari di Rumah sakit kujalani dengan kegiatan harian pumping tiap 1-2 jam dan selalu kirim pesan whatsapp ke nurse station untuk titip ASI. Ada beberapa pemeriksaan yang kujalani selama berada di rumah sakit, yaitu uji D-dimer dan rontgen thorax. All good meskipun D-dimer masih agak tinggi di hari ke-8 aku dirawat.
Hari ke-10 pun tiba dan akhirnya aku bisa pulang dan bertemu jagoan kecilku. Meskipun masih ada PR yaitu direct breastfeeding, tapi lega rasanya bisa kembali pulang. π
Komentar
Posting Komentar